Wednesday, September 19, 2018

LANDASAN FILSAFAT KAJIAN ONTOLOGI DALAM KURIKULUM


LANDASAN-LANDASAN KURIKULUM
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum diantaranya Robert S. zais mengemukakan empat landasan pengembangan kurikulum, yaitu: Philosopy and nature of knowledge, society and culture, the individual danlearning theory.  Sedangkan S. Nasution berpendapat dalam bukunya “Pengembangan Kurikulum” yaitu asas filosofis yang pada hakikatnya menentukan tujuan umum pendidikan, asas sosiologis yang memberikan dasar untuk menentukan apa yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi, asas organisatoris yang memberikan dasar-dasar dalam bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun, bagaimana luas dan urutannya dan asas  psikologis yang memberikan prinsip-prinsip tentang perkembangan anak dalam berbagai aspek serta caranya belajar agar bahan yang disediakan dapat dicernakan dan dikuasai oleh anak sesuai dengan taraf perkembangnnya.
Untuk itu empat landasan tersebut dapat dijadikan landasan utama dalam pengembangn kurikulum yaitu landasan filosofis, psikologis, sosiologis, budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan landasan organisatoris.
A.    Landasan Filosofis
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan peserta didik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yag mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu berfikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran demikian dalam berfilsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Sering dikatakan dan sudah menjadi terkenal dalam dunia keilmuan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu, pada hakikatnya filsafat jugalah yang menentukan tujuan umum pendidikan.
Berdasarkan luas lingkup yng menjadi objek kajiannya, filsafat dapat dibagi dalam dua cabang besar, yaitu filsafat umum atau filsafat murni dan filsafat khusus atau terapan, sedangkan filsafat umum juga terbagi menjadi tiga bagian lagi yaitu :
1.      Metafisika, membahas hakikat kenyataan atau realitas yang meliputi metafisika umum atau ontology, dan metafisika khusus yang meliputi kosmologi (hakikat alam semesta), teologi (hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat (hakikat manusia).
2.      Epistemologi dan logika, membahas hakikat pengetahuan (sumber pengetahuan, metode mencari pengetahuan, kesahihan pengetahuan, dan batas-batas pengetahuan) dan hakikat penalaran (deduktif dan induktif).
3.      Aksiologi, membahas hakikat nilai dengan cabang-cabangnya etika (hakikat kebaikan), dan estetika (hakikat keindahan).
Adapun cabang – cabang filsafat khusus atau terapan, pembagiannya didasarkan pada kekhususan objeknya antara lain: filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat ilmu, filsafat religi, filsafat moral, dan filsafat pendidikan. 
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup sutu bangsa, maka kurikulum yang dikembangkan juga harus mencerminkan falsafah atau pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang sangat erat antara kurikulum pendidikan di suatu Negara dengan filasafat Negara yang dianutnya. Sebagai contoh, pada waktu Indonesia dijajah oleh Belanda, maka kurikulum yang dianut pada masa itu sangat berorientasi pada kepentingan politik Belanda. Demikian pula pada saat Negara kita dijajah oleh Jepang, maka kurikulum yang dianutnya juga berorientasi kepada kepentingan dan sistem nilai yang dianut oleh Jepang tersebut. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, Indonesia menggunakan pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa dn bernegara, maka kurikulum pendidikan pun disesuaikan dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri. Perumusan tujuan pendidikan, penyususnan program pendidikan, pemilihan dan penggunaan pendekatan atau strategi pendidikan, peranan yang harus dilakukan pendidik/peserta didik juga harus sesuai dengan falsafah bangsa ini yaitu pancasila.

1.      Pengertian Ontologi
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu.
Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality). Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.
Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus menginspirasi.
Aliran-aliran filsafat pendidikan
Pengembangan kurikulum membutuhkan filsafat sebagai landasan berfikir. Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan berupaya menjawab pemasalahan-permasalahan sekitar bagaimana seharusnya tujuan pendidikan itu dirumuskan, isi atau materi pendidikan yang bagaimana yang seharusnya disajikan kepada peserta didik, metode apa yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, dan bagaimana peranan yang seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik.
Jawaban atas permasalahan – permasalahan tersebut akan sangat bergantung pada landasan filsafat mana yang digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik tolak pengembangan kurikulum. Landasan filsafat tertentu beserta konsep-konsepnya yang meliputi konsep metafisika, epistemologi, logika, dan aksiologi berimplikasi terhadap konsep-konsep pendidikan yang meliputi rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikan, metode pendidikan,peran pendidik dan peserta didik. Konsep metafisika berimplikasi terhadap perumusan tujuan pendidikan terutama tujuan umum pendidikan yang rumusannya ideal dan umum, konsep hakikat manusia berimplikasi khususnya terhadap peranan pendidik dan peserta didik, konsep hakikat pengetahuan berimplikasi terhadap isi dan metode pendidikan, dan konsep aksiologi berimplikasi terutama terhadap perumusan tujuan umum pendidikan.
Keberadan aliran-aliran filsafat dalam pengembangan kurikulum di Indonesia dapat digunakan sebagai acuan, akan tetapi hendaknya dipertimbangkan dan dikaji terlebih dahulu kesesuaiannya dengan nilai-nilai falsafah hidup bangsa Indonesia, karena tidak semua konsep aliran filsafat dapat diadopsi dan diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Di antara aliran-aliran tersebut yaitu :
a)      Aliran Progresivisme dan pragmatism
Aliran progresevisme mengakui dan berusaha mengembangkan asasnya dalam semua realita kehidupan, dengan tujuan agar semua manusia dapat bertahan menghadapi semua tantangan hidup. Sedangkan menurut aliran pragmatisme, suatu keterangan itu baru dikatakan benar jika sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar kalau sesuai dengan kenyataannya.
            Kedua aliran ini dipelopori oleh William james dan John Dewey, salah satu sumbangan besar yang mereka berikan dalam perkembangan pendidikan di abad modern ini khususnya kurikulum yaitu, menurut aliran progresivisme tentang kurikulum mengehendaki sekolah yang memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat oleh doktrin tertentu, luas dan terbuka). 
b)      Aliran Esensialisme
Aliran ini didasarkan oleh nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Nilai-nilai yang dimaksud ialah yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang korelatif selama empat abad belakangan, yaitu sejak zaman renaissance, sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme adat.
c)      Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Pandangan tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang menjadi dasar bagi pengembangan konsep kurikulum yaitu, dari segi ontologi, mereka berpendapat bahwa realita itu bersifat universal, ada dimana-mana dan sama setiap tempat. Dari segi epistemologi, untuk memahami realita memerlukan asas tahu, maksudnya kita tidak mungkin memahami realita tanpa terlebih dahulu melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realitas terlebih dahulu melalui penemuan ilmu pengetahuan. Sedangkan dari segi aksiologinya, bahwa dalam proses interaksi sesama manusia diperlukan nilai-nilai. Begitu juga dalam hubungan manusia dengan alam semesta, prosesnya tidak mungkin dilakukan dengan sikap netral.
d)      Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan paham yang berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas/kreatif , seseorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu bersifat relative, dan karenanya itu masing – masing individu bebas menetukan mana yang benar atau salah
e)      Aliran Perenialisme
Perenial berarti “abadi” , aliran ini beranggapan bahwa beberapa gagasan telah bertahan selama berabad – abad dan masih relevan saat ini seperti pada saat gagasan tersebut baru ditemukan. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.

KURIKULUM 2013 dari Landasan Kajian Filsafat
Dalam kajian Filsafat Ilmu, bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu yang semakin intens. Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan telaah berkaitan dengan objek apa yang di telaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistimologi), dan bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistimologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh karena itu lingkup induk telaah filsafat ilmu adalah: ontology, epistimology, dan axiology.
Contoh permasalahan yang ada di masyarakat, yang dapat sesuai dikaji dengan dilsafat ilmu, yaitu tentang Kurikulum 2013 yang diterapkan pada program pelaksanaan pendidikan yang dimulai pada tahun 2013 ini.
Kurikulum 2013 pada dasarnya adalah untuk memperbaiki berbagai permasalahan yang timbul pada kurikulum 2006 yang sangat padat dan banyak pelajaran yang keluasan materinya melampaui tingkat perkembangan usia anak. Kurikulum 2006 juga belum sepenuhnya berbasis kompetensi yang sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.  Dengan kurikulum 2013 diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuannya secara holistik dalam sikap, keterampilan, dan pengetahuan.


KAJIAN FILOSOFIS dari KURIKULUM 2013
A. Kajian Ontologi
Ontologi, dalam bahasa Inggris “ontologi” berakar dari bahasa Yunani “on” berarti dad, dan “ontos” berarti keberadaan. Sedangkan “logos” berarti pemikiran. Jadi, ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada keberadaannya. Dalam metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam semesta ini merupakan kesungguhan atau kemungkinan.
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa. dan, mengundra) yang membuahkan pengetahuan.
Dikaji dengan kurikulum 2013 yaitu kurikulum atau materi baru yang akan digunakan, apakah sudah tepat jika akan di luncurkan ke sekolah-sekolah, karena tidak semua pihak sudah paham betul mengenai kurikulum 2013.
Rencana kurikulum 2013 menganut model konsep pendidikan esensialisme, yaitu model pendidikan yang berkembang di Amerika Serikat yang identik dengan masyarakat industri. Hal ini dapat dilihat dari model pendidikan yang diterapkan berbasis sains yang berorientasi pada kompetensi lulusan agar siap untuk terjun ke dunia kerja. Menurut Prof. Dr. Nana Syaodih dalam bukunya Pengembangan Kurikulum: Teori dan praktek mengungkapkan bahwa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum adalah: a) Relevansi, b) Fleksibilitas, c) Kontionuitas, d) Praktis, e) Efektifitas. Dari segi relevansi, kurikulum 2013 bertujuan untuk menyiapkan siswa yang siap untuk hidup dan bekerja dalam masyarakat. Kurikulum ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreastif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi, serta bertanggung jawab.
Dari segi fleksibilitas, kurikulum ini mesih memberikan kesempatan pada sekolah ditiap daerah untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing, baik dari segi kondisi daerah, waktu, kemampuan anak, dan latar belakang peserta didik sebagaimana yang juga diterapkan pada kurikulum KTSP. Pada dasarnya, kurikulum ini terlihat sederhana, tetapi diharapkan mampu menjawab tantangan untuk mampu membekali peserta didik dalam menghadapi persaingan global di kehidupan sekarang dan masa datang.
Secara umum, Kesinambungan (kontinuitas) dalam kurikulum ini mengikuti dengan perkembangan peserta didik sesuai jenjang pendidikan yang mereka tempuh. Penjabaran tujuan yang ingin di capai dalam kurikulum juga telah dijabarkan secara terperinci. Namun, kembali lagi sebaik apapun kurikulum tanpa ada aplikasi yang tepat dan sesuai akhirnya tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal.
Dilihat dari orientasi sains yang meyiapkan peserta didik untuk bekerja, maka akan banyak praktikumdan alat-alat yang akan digunakan. Dilihat dari kondisi infrstruktur kita sekarang dirasa kurang memadai untuk menerapkan kurikuluk ini secara utuh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan kurikulum ini dirasa sangat mahal dikarenakan pembebanan biaya pendidikan akan lebih banyak di serap untuk penyediaan infrastruktur.
Dari segi efektifitas, kurikulum ini sebagaimana yang telah disebutkan sebeumnya mungkin akan kurang memuaskan. Hal ini dikarenakan infrastruktur yang dimiliki oleh pemerintah kurang memadai untuk melaksanakan kurikulum ini. Fasilitas seperti laboratorium tidak tersedia di setiap sekolah yang seharusnya membutuhkannya.

PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM DILIHAT DARI ONTOLOGI, EFISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
1. Kurikulum Menurut Kepala Sekolah:
A.    Ontologi Kurikulum
-          Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
-          Pengertian kurikulum dalam arti luas adalah kegiatan belajar-mengajar yang mencakup di dalam maupun di luar kelas. Sedangkan Pengertian kurikulum dalam arti sempit yaitu kegiatan belajar-mengajar yang hanya ada di dalam kelas saja.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi 3, yaitu:
·         Kurikulum sebagai konstruk
·         Kurikulum sebagai jawaban berbagai masalah sosial yang berkenaan dengan pendidikan
·         Kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan yang didasarkan atas kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa.
·         Kurikulum merupakan Komponen-komponen yang terdiri dari tujuan, isi dan struktur program, organisasi, dan proses belajar mengajar serta evaluasi. Sebagai suatu sistem berbagai komponen kurikulum memiliki keterkaitan yang bersifat harmonis dan tidak saling bertentangan.
·         Kurikulum sangat penting bagi beberapa pihak yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Beberapa pihak yang dimaksud antara lain, guru, kepala sekolah, masyarakat, dan penulis buku pelajaran.
Menurut Nana Sy. Sukmadinata (2010:52-56) kelima sila dalam pancasila dalam prespektif ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai berikut :
1. Ontologi
a.    Ketuhanan Yang Maha Esa
Melalui sila ini diharapkan setiap manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, menghormati antar pemeluk agama, dan tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain.
b.   Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pendidikan tidak membedakan usia, agama serta tingkat sosial budaya dalam menuntut ilmu. Setiap manusia mempunyai kebebasan dalam menuntut ilmu dan mendapat perlakuan yang sama kecuali tingkat ketaqwaan seseorang. Manusia Pancasila harus menjiwai, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, sehingga mampu bersikap adil dan beradab dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.    Persatuan Indonesia
Kecintaan kita terhadap bangsa dan negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila akan menghapus perbedaan suku, agama, ras, warna kulit, dan lain-lain yang dapat menimbulkan perpecahan sektoral. Persatuan yang kokoh dapat menghilangkan pikiran-pikiran yang berbau separatisme atau rasialisme. Sila ketiga ini tidak membatasi golongan untuk belajar, artinya setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
d.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Jika pendidikan ingin maju, maka pendidikan harus dapat menghargai pendapat orang lain, dalam filsafat pendidikan hal ini dikenal dengan aliran progressivisme. UUD 1945 juga mangamanatkan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian untuk mengembangkan sebuah kurikulum diperlukan ide-ide cemerlang dari orang lain.
e.    Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dalam pendidikan, adil mencakup seluruh aspek kehidupan anak. Oleh sebab itu, dalam struktur kurikulum harus ada materi yang mengandung unsur agama, pengetahuan umum, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, teknologi, bahasa, dan unsur-unsur lain yang relevan serta memang diperlukan bagi anak untuk kehidupannya kelak. Dalam proses pembelajaran, guru tidak boleh membeda-bedakan peserta didik, guru harus bersikap adil dalam memberikan nilai kepada peserta didik.
Dari penjelasan di atas, bagaimana kurikulum di Indonesia sekarang jika dilihat dari landasan filsafat dari segi ONTOLOGI nya? apakah sudah sesuai dengan landasan filasafat yang digunakan dalam pengembangan kurikulum?
Bagaimana pandangan ONTOLOGI dalam pengembangan konsep kurikulum?