LANDASAN-LANDASAN
KURIKULUM
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan
suatu kurikulum diantaranya Robert S. zais mengemukakan empat landasan
pengembangan kurikulum, yaitu: Philosopy and nature of knowledge,
society and culture, the individual danlearning theory.
Sedangkan S. Nasution berpendapat dalam bukunya “Pengembangan Kurikulum”
yaitu asas filosofis yang pada hakikatnya menentukan tujuan umum pendidikan,
asas sosiologis yang memberikan dasar untuk menentukan apa yang akan dipelajari
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu
pengetahuandan teknologi, asas organisatoris yang memberikan dasar-dasar dalam
bentuk bagaimana bahan pelajaran itu disusun, bagaimana luas dan urutannya dan
asas psikologis yang memberikan prinsip-prinsip tentang perkembangan anak
dalam berbagai aspek serta caranya belajar agar bahan yang disediakan dapat
dicernakan dan dikuasai oleh anak sesuai dengan taraf perkembangnnya.
Untuk itu empat landasan tersebut dapat
dijadikan landasan utama dalam pengembangn kurikulum yaitu landasan filosofis,
psikologis, sosiologis, budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) dan landasan organisatoris.
A. Landasan
Filosofis
Pendidikan berintikan
interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan peserta didik untuk
mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang
diinteraksikan serta bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang
menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan peserta didik, apa isi pendidikan
dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yag mendasar, yang esensial
yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Secara harfiah
filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom).
Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat
secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus
tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses
berpikir, yaitu berfikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran
demikian dalam berfilsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau
berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Filsafat
mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada ini
sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia
di dalamnya. Sering dikatakan dan sudah menjadi terkenal dalam dunia keilmuan
bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu, pada hakikatnya filsafat jugalah
yang menentukan tujuan umum pendidikan.
Berdasarkan luas
lingkup yng menjadi objek kajiannya, filsafat dapat dibagi dalam dua cabang
besar, yaitu filsafat umum atau filsafat murni dan filsafat khusus atau
terapan, sedangkan filsafat umum juga terbagi menjadi tiga bagian lagi yaitu :
1. Metafisika, membahas
hakikat kenyataan atau realitas yang meliputi metafisika umum atau ontology,
dan metafisika khusus yang meliputi kosmologi (hakikat alam semesta), teologi
(hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat (hakikat manusia).
2. Epistemologi dan logika,
membahas hakikat pengetahuan (sumber pengetahuan, metode mencari pengetahuan,
kesahihan pengetahuan, dan batas-batas pengetahuan) dan hakikat penalaran
(deduktif dan induktif).
3. Aksiologi, membahas
hakikat nilai dengan cabang-cabangnya etika (hakikat kebaikan), dan estetika
(hakikat keindahan).
Adapun
cabang – cabang filsafat khusus atau terapan, pembagiannya didasarkan pada kekhususan
objeknya antara lain: filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat ilmu, filsafat
religi, filsafat moral, dan filsafat pendidikan.
Kurikulum
pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Karena tujuan
pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup sutu bangsa,
maka kurikulum yang dikembangkan juga harus mencerminkan falsafah atau
pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut. Oleh karena itu, terdapat
hubungan yang sangat erat antara kurikulum pendidikan di suatu Negara dengan
filasafat Negara yang dianutnya. Sebagai
contoh, pada waktu Indonesia dijajah oleh Belanda, maka kurikulum yang dianut
pada masa itu sangat berorientasi pada kepentingan politik Belanda. Demikian
pula pada saat Negara kita dijajah oleh Jepang, maka kurikulum yang dianutnya
juga berorientasi kepada kepentingan dan sistem nilai yang dianut oleh Jepang
tersebut. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, Indonesia
menggunakan pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa
dn bernegara, maka kurikulum pendidikan pun disesuaikan dengan nilai-nilai
pancasila itu sendiri. Perumusan
tujuan pendidikan, penyususnan program pendidikan, pemilihan dan penggunaan
pendekatan atau strategi pendidikan, peranan yang harus dilakukan
pendidik/peserta didik juga harus sesuai dengan falsafah bangsa ini yaitu
pancasila.
1.
Pengertian Ontologi
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat
keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis
berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada causa
prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi,
dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan
estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh
Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales,
Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara
penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai
pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula
segala sesuatu.
Thales
merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah
pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh
tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu
sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air,
daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-substansi
(yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang
tidaklah ada pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan
(reality). Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala
sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa
dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi
terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah
bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang
ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada
manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh,
teratur, dan tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007).
Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat
yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat
dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi.
Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu
yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini
didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua
being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Hakikat
Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ
فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.”
Manusia
dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam
dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya
pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul
kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Menurut
Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan
nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir
ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut,
mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik
tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik
secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik
harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak
didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga
mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia
baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan
anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan
fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah
bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan
peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan
pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal
ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun
kemampuannya.
Dalam
pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran
pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan
cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar
mengajar. Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan
pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat
ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui
belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa
konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau
menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin
menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.
Bertolak
dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian
jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu
yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses
pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia
agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka
diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk
menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di
tengah-tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu
pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan signifikan jika
tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem
dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan
sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan tidak akan
pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja
tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini
(manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan
laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus
menginspirasi.
Aliran-aliran filsafat pendidikan
Pengembangan kurikulum
membutuhkan filsafat sebagai landasan berfikir. Kajian-kajian filosofis tentang
kurikulum akan berupaya menjawab pemasalahan-permasalahan sekitar bagaimana
seharusnya tujuan pendidikan itu dirumuskan, isi atau materi pendidikan yang
bagaimana yang seharusnya disajikan kepada peserta didik, metode apa yang
seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, dan bagaimana peranan
yang seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik.
Jawaban atas
permasalahan – permasalahan tersebut akan sangat bergantung pada landasan
filsafat mana yang digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik tolak
pengembangan kurikulum. Landasan filsafat tertentu beserta konsep-konsepnya
yang meliputi konsep metafisika, epistemologi, logika, dan aksiologi
berimplikasi terhadap konsep-konsep pendidikan yang meliputi rumusan tujuan
pendidikan, isi pendidikan, metode pendidikan,peran pendidik dan peserta didik.
Konsep metafisika berimplikasi terhadap perumusan tujuan pendidikan terutama
tujuan umum pendidikan yang rumusannya ideal dan umum, konsep hakikat manusia
berimplikasi khususnya terhadap peranan pendidik dan peserta didik, konsep
hakikat pengetahuan berimplikasi terhadap isi dan metode pendidikan, dan konsep
aksiologi berimplikasi terutama terhadap perumusan tujuan umum pendidikan.
Keberadan
aliran-aliran filsafat dalam pengembangan kurikulum di Indonesia dapat
digunakan sebagai acuan, akan tetapi hendaknya dipertimbangkan dan dikaji
terlebih dahulu kesesuaiannya dengan nilai-nilai falsafah hidup bangsa
Indonesia, karena tidak semua konsep aliran filsafat dapat diadopsi dan
diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Di antara aliran-aliran
tersebut yaitu :
a)
Aliran
Progresivisme dan pragmatism
Aliran progresevisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asasnya dalam semua realita kehidupan, dengan tujuan agar semua
manusia dapat bertahan menghadapi semua tantangan hidup. Sedangkan menurut
aliran pragmatisme, suatu keterangan itu baru dikatakan benar jika sesuai
dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar kalau sesuai dengan
kenyataannya.
Kedua
aliran ini dipelopori oleh William james dan John Dewey, salah satu sumbangan
besar yang mereka berikan dalam perkembangan pendidikan di abad modern ini
khususnya kurikulum yaitu, menurut aliran progresivisme tentang kurikulum
mengehendaki sekolah yang memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel (tidak
kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat oleh doktrin tertentu, luas
dan terbuka).
b)
Aliran Esensialisme
Aliran ini didasarkan oleh nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Esensialisme memandang
bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan
tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai
tata yang jelas. Nilai-nilai yang dimaksud ialah yang berasal dari kebudayaan
dan falsafat yang korelatif selama empat abad belakangan, yaitu sejak zaman
renaissance, sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme adat.
c)
Aliran
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha
merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern. Pandangan
tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang menjadi dasar bagi
pengembangan konsep kurikulum yaitu, dari segi ontologi, mereka berpendapat
bahwa realita itu bersifat universal, ada dimana-mana dan sama setiap tempat.
Dari segi epistemologi, untuk memahami realita memerlukan asas tahu, maksudnya
kita tidak mungkin memahami realita tanpa terlebih dahulu melalui proses
pengalaman dan hubungan dengan realitas terlebih dahulu melalui penemuan ilmu
pengetahuan. Sedangkan dari segi aksiologinya, bahwa dalam proses interaksi
sesama manusia diperlukan nilai-nilai. Begitu juga dalam hubungan manusia
dengan alam semesta, prosesnya tidak mungkin dilakukan dengan sikap netral.
d)
Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan paham yang berpusat
pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas/kreatif
, seseorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu bersifat relative, dan
karenanya itu masing – masing individu bebas menetukan mana yang benar atau
salah
e)
Aliran Perenialisme
Perenial berarti “abadi” , aliran ini
beranggapan bahwa beberapa gagasan telah bertahan selama berabad – abad dan
masih relevan saat ini seperti pada saat gagasan tersebut baru
ditemukan. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran
dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan
dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari.
Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih
berorientasi ke masa lalu.
KURIKULUM 2013 dari Landasan Kajian
Filsafat
Dalam
kajian Filsafat Ilmu, bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus
mengalami perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat
dan ilmu yang semakin intens. Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan telaah
berkaitan dengan objek apa yang di telaah oleh ilmu
(ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistimologi), dan bagaimana
proses pemerolehan ilmu (epistimologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi),
oleh karena itu lingkup induk telaah filsafat ilmu adalah: ontology,
epistimology, dan axiology.
Contoh
permasalahan yang ada di masyarakat, yang dapat sesuai dikaji dengan dilsafat
ilmu, yaitu tentang Kurikulum 2013 yang diterapkan pada program pelaksanaan
pendidikan yang dimulai pada tahun 2013 ini.
Kurikulum
2013 pada dasarnya adalah untuk memperbaiki berbagai permasalahan yang timbul
pada kurikulum 2006 yang sangat padat dan banyak pelajaran yang keluasan materinya
melampaui tingkat perkembangan usia anak. Kurikulum 2006 juga belum sepenuhnya
berbasis kompetensi yang sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional. Dengan kurikulum 2013 diharapkan siswa dapat meningkatkan
kemampuannya secara holistik dalam sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
KAJIAN FILOSOFIS dari KURIKULUM 2013
A. Kajian
Ontologi
Ontologi,
dalam bahasa Inggris “ontologi” berakar dari bahasa Yunani “on” berarti dad,
dan “ontos” berarti keberadaan. Sedangkan “logos” berarti pemikiran. Jadi,
ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada keberadaannya. Dalam metafisika,
pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah
alam semesta ini merupakan kesungguhan atau kemungkinan.
Ontologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan
ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana
wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa. dan, mengundra) yang
membuahkan pengetahuan.
Dikaji
dengan kurikulum 2013 yaitu kurikulum atau materi baru yang akan digunakan,
apakah sudah tepat jika akan di luncurkan ke sekolah-sekolah, karena tidak
semua pihak sudah paham betul mengenai kurikulum 2013.
Rencana
kurikulum 2013 menganut model konsep pendidikan esensialisme, yaitu
model pendidikan yang berkembang di Amerika Serikat yang identik dengan
masyarakat industri. Hal ini dapat dilihat dari model pendidikan yang
diterapkan berbasis sains yang berorientasi pada kompetensi lulusan agar siap
untuk terjun ke dunia kerja. Menurut Prof. Dr. Nana Syaodih dalam bukunya
Pengembangan Kurikulum: Teori dan praktek mengungkapkan bahwa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum adalah: a) Relevansi,
b) Fleksibilitas, c) Kontionuitas, d) Praktis, e) Efektifitas. Dari
segi relevansi, kurikulum 2013 bertujuan untuk menyiapkan siswa yang siap untuk
hidup dan bekerja dalam masyarakat. Kurikulum ini sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 yaitu
untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreastif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi, serta bertanggung
jawab.
Dari
segi fleksibilitas, kurikulum ini mesih memberikan kesempatan pada sekolah
ditiap daerah untuk mengembangkan pembelajaran sesuai dengan karakteristik
daerah masing-masing, baik dari segi kondisi daerah, waktu, kemampuan anak, dan
latar belakang peserta didik sebagaimana yang juga diterapkan pada kurikulum
KTSP. Pada dasarnya, kurikulum ini terlihat sederhana, tetapi diharapkan mampu
menjawab tantangan untuk mampu membekali peserta didik dalam menghadapi
persaingan global di kehidupan sekarang dan masa datang.
Secara
umum, Kesinambungan (kontinuitas) dalam kurikulum ini mengikuti dengan
perkembangan peserta didik sesuai jenjang pendidikan yang mereka tempuh.
Penjabaran tujuan yang ingin di capai dalam kurikulum juga telah dijabarkan
secara terperinci. Namun, kembali lagi sebaik apapun kurikulum tanpa ada
aplikasi yang tepat dan sesuai akhirnya tidak akan mendapatkan hasil yang
maksimal.
Dilihat
dari orientasi sains yang meyiapkan peserta didik untuk bekerja, maka akan banyak
praktikumdan alat-alat yang akan digunakan. Dilihat dari kondisi infrstruktur
kita sekarang dirasa kurang memadai untuk menerapkan kurikuluk ini secara utuh.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan kurikulum ini dirasa sangat
mahal dikarenakan pembebanan biaya pendidikan akan lebih banyak di serap untuk
penyediaan infrastruktur.
Dari
segi efektifitas, kurikulum ini sebagaimana yang telah disebutkan sebeumnya
mungkin akan kurang memuaskan. Hal ini dikarenakan infrastruktur yang dimiliki
oleh pemerintah kurang memadai untuk melaksanakan kurikulum ini. Fasilitas
seperti laboratorium tidak tersedia di setiap sekolah yang seharusnya
membutuhkannya.
PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI
KURIKULUM DILIHAT DARI ONTOLOGI, EFISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
1. Kurikulum Menurut
Kepala Sekolah:
A. Ontologi
Kurikulum
- Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.
- Pengertian
kurikulum dalam arti luas adalah kegiatan belajar-mengajar yang
mencakup di dalam maupun di luar kelas. Sedangkan Pengertian kurikulum
dalam arti sempit yaitu kegiatan belajar-mengajar yang hanya ada di
dalam kelas saja.
Secara
singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi 3, yaitu:
·
Kurikulum sebagai konstruk
·
Kurikulum sebagai jawaban berbagai masalah
sosial yang berkenaan dengan pendidikan
·
Kurikulum untuk membangun kehidupan masa
depan yang didasarkan atas kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai
rencana pengembangan dan pembangunan bangsa.
·
Kurikulum merupakan Komponen-komponen yang
terdiri dari tujuan, isi dan struktur program, organisasi, dan proses belajar
mengajar serta evaluasi. Sebagai suatu sistem berbagai komponen kurikulum
memiliki keterkaitan yang bersifat harmonis dan tidak saling bertentangan.
·
Kurikulum sangat penting bagi beberapa
pihak yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Beberapa pihak yang
dimaksud antara lain, guru, kepala sekolah, masyarakat, dan penulis buku
pelajaran.
Menurut
Nana Sy. Sukmadinata (2010:52-56) kelima sila dalam pancasila dalam prespektif
ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai berikut :
1.
Ontologi
a. Ketuhanan
Yang Maha Esa
Melalui
sila ini diharapkan setiap manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yaitu dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya, menghormati antar pemeluk agama, dan tidak memaksakan suatu agama
kepada orang lain.
b. Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab
Pendidikan
tidak membedakan usia, agama serta tingkat sosial budaya dalam menuntut ilmu.
Setiap manusia mempunyai kebebasan dalam menuntut ilmu dan mendapat perlakuan
yang sama kecuali tingkat ketaqwaan seseorang. Manusia Pancasila harus
menjiwai, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, sehingga mampu
bersikap adil dan beradab dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Persatuan
Indonesia
Kecintaan
kita terhadap bangsa dan negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila akan
menghapus perbedaan suku, agama, ras, warna kulit, dan lain-lain yang dapat
menimbulkan perpecahan sektoral. Persatuan yang kokoh dapat menghilangkan
pikiran-pikiran yang berbau separatisme atau rasialisme. Sila ketiga ini tidak
membatasi golongan untuk belajar, artinya setiap warga negara berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran.
d. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Jika
pendidikan ingin maju, maka pendidikan harus dapat menghargai pendapat orang
lain, dalam filsafat pendidikan hal ini dikenal dengan aliran progressivisme.
UUD 1945 juga mangamanatkan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, baik secara
lisan maupun tulisan. Dengan demikian untuk mengembangkan sebuah kurikulum
diperlukan ide-ide cemerlang dari orang lain.
e. Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dalam
pendidikan, adil mencakup seluruh aspek kehidupan anak. Oleh sebab itu, dalam
struktur kurikulum harus ada materi yang mengandung unsur agama, pengetahuan
umum, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, teknologi, bahasa, dan
unsur-unsur lain yang relevan serta memang diperlukan bagi anak untuk
kehidupannya kelak. Dalam proses pembelajaran, guru tidak boleh membeda-bedakan
peserta didik, guru harus bersikap adil dalam memberikan nilai kepada peserta
didik.
Dari
penjelasan di atas, bagaimana kurikulum di Indonesia sekarang jika dilihat dari
landasan filsafat dari segi ONTOLOGI nya? apakah sudah sesuai dengan landasan
filasafat yang digunakan dalam pengembangan kurikulum?
Bagaimana
pandangan ONTOLOGI dalam pengembangan konsep kurikulum?